Hukum pidana progresif dapat dibaca sebagai pembaruan hukum pidana yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menemukan sendiri bagaimana keadilan itu ditegakkan. Artinya, tidak hanya pengadilan saja yang berwenang mengadili dan memutus suatu perkara pidana.
Begitu disampaikan Peneliti pada Lembaga Studi Hukum Pidana (LSHP), Moch. Choirul Rizal, dalam “Seminar Hukum: Hukum Progresif sebagai Gerakan Pembebasan”. Sebagai akademisi hukum pidana, ia menyampaikan artikel berjudul “Membaca Hukum Progresif dalam Pembaruan Hukum di Indonesia” dalam yang seminar yang digelar oleh Dewan Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Kediri, 7 November 2020.
“Adalah Satjipto Rahardjo yang meletakkan pondasi kerangka konseptual tentang hukum progresif yang kemudian dipopulerkan dan digemakan oleh murid-muridnya (kaum Tjipian) di berbagai tempat dan kesempatan. Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut dilahirkan di Banyumas, 5 Desember 1930 dan meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 2010 (dalam usia 79 tahun),” kutip Rizal, sapaan akrabnya, dari beberapa referensi.
Di samping sebagai Peneliti LSHP, Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri itu menyampaikan, istilah “Hukum Progresif” digunakan oleh Satjipto Rahardjo pertama kali dalam artikelnya yang dimuat harian Kompas edisi 15 Juni 2002 dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”. Kata “progesif” sendiri berarti “ke arah kemajuan”. Penggunaan kata “progresif” dapat dimaknai sebagai pandangan yang humanis dan membebaskan. Hukum progresif menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum” di Indonesia.
-
Untuk membaca artikel selengkapnya, sila klik di sini.
0 Komentar