Hukum pidana progresif dapat dibaca sebagai pembaruan hukum pidana yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menemukan sendiri bagaimana keadilan itu ditegakkan.
![]() |
https://asset.kompas.com/crops/Gju9oPTHB1eMBeUsOJpQMZrpBDs=/0x0:0x0/750x500/data/photo/2009/11/20/0809067p.jpg |
Mbah Minah tinggal di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Mata pencahariannya sebagai petani.
Minggu,
2 Agustus 2009, sekitar pukul 13.00 WIB, Mbah Minah mengambil 3 (tiga) buah
kakao dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan PT Rumpun Sari Antan.
Perbuatan tersebut diketahui oleh mandor Tarno bin Sumanto dan Rajiwan.
Mengaku
salah, Mbah Minah meminta maaf. Namun, sepekan kemudian, ia diperiksa polisi di
Polsek Ajibarang, hingga kemudian diadili di Pengadilan Negeri Purwokerto
sebagaimana tersebut dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
247/Pid.B/2009/PN.PWT.
Mbah
Minah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur Pasal 362 KUHP. Ia dijatuhi vonis pidana penjara satu bulan 15 (lima
belas) hari dengan masa percobaan 3 (tiga) bulan
Ketua
Majelis Hakim pada perkara tersebut berujar, “Seharusnya dalam persidangan, hakim harus kelihatan tegar dan netral.
Tetapi perasaan saya terharu. Ibu setua itu mencuri bibit karena keterpaksaan
luar biasa. Jadi saya ingat ibu saya sendiri.”(Putro 2011, 171).
Di dalam persidangan tersebut, tidak dijumpai
hal-hal yang memberatkan pada terdakwa Mbah Minah. Sebaliknya, terungkap
hal-hal yang meringankan, yaitu: (1) terdakwa Mbah Minah lanjut usia; (2)
terdakwa Mbah Minah adalah petani tua, yang tidak punya apa-apa; (3) tiga buah
kakao sangatlah berarti bagi petani Mbah Minah buat benih untuk ditanam lagi,
sedangkan dari sisi perusahaan perkebunan tidaklah merugi; (4) semangat
terdakwa Mbah Minah haruslah diapresiasi menghadiri persidangan tepat waktu
meski letih dan tertatih; dan (5) peristiwa mengambil 3 (tiga) kako, bagi Mbah
Minah selaku terdakwa, merupakan hukuman baginya, mengganggu ketenangan jiwa,
melukai hati, menguras tenaga dan harta, serta memuat keropos jiwa raga.
Hukum Progresif
Keadaan hukum secara makro tidak menyejahterakan
dan membahagiakan rakyat. Kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan
hukum menjadi sesuatu yang makin langka dan mahal. Akibatnya, mafia peradilan,
komersialisasi, dan komodifikasi hukum semakin marak dalam setting
Indonesia akhir abad ke-20.
Paradigma positivisme dianggap kurang mampu
mewujudkan keadilan substansial, karena cenderung membawa kita menjadi tawanan
undang-undang. Pun, pengaruh kolonialisme yang mencengkeram dengan hebatnya.
Akibatnya, penegakan hukum di Indonesia masih cenderung legal-formalistik dan
penegak hukum menggunakan “kacamata kuda” untuk menegakkan hukum di masyarakat.
Adalah Satjipto Rahardjo yang meletakkan pondasi
kerangka konseptual tentang hukum progresif yang kemudian dipopulerkan dan
digemakan oleh murid-muridnya (kaum Tjipian) di berbagai tempat dan kesempatan.
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut dilahirkan di
Banyumas, 5 Desember 1930 dan meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 2010
(dalam usia 79 tahun).
Istilah “Hukum Progresif” digunakan oleh Satjipto
Rahardjo pertama kali dalam artikelnya yang dimuat harian Kompas edisi 15 Juni
2002 dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”. Kata
“progesif” sendiri berarti “ke arah kemajuan”. Penggunaan kata “progresif”
dapat dimaknai sebagai pandangan yang
humanis dan membebaskan. Hukum progresif menawarkan perspektif, spirit, dan
cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum” di Indonesia.
Di dalam berbagai referensi yang membahas tentang
hukum progresif, paling tidak ada 4 (empat) ciri dan cara berhukum progresif.
Pertama, hukum itu untuk manusia. Kelahiran hukum itu untuk harga diri,
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Apabila ada masalah dalam
hukum, maka hukum itu yang harus ditinjau, bukan manusia yang dipaksakan dalam
skema hukum.
Kedua, hukum bukan merupakan institusi mutlak dan
final (status quo), karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus
menjadi (law as a process, law in the making). Hukum akan terus
bergerak, berubah, dan mengikuti dinamika kehidupan manusia.
Ketiga, hukum sebagai aspek peraturan dan perilaku.
Peraturan akan membangun sistem hukum positif, sedangkan perilaku (manusia)
akan menggerakkan peraturan itu. Aspek perilaku berada di atas aspek peraturan.
Keempat, hukum sebagai ajaran pembebasan dari tipe,
cara berpikir, asas, dan teori legal-positivistik. Pembebasan tersebut
memunculkan kreativitas dan inovasi dengan tetap mengedepankan logika kepatutan
sosial, keadilan, dan moralitas. Cara berhukum yang ditunjukkan tidak hanya
tekstual, tetapi juga melakukan proses pencarian terhadap makna yang
tersembunyi di balik teks yang hidup dalam masyarakat (kontekstual).
Membaca Hukum
Pidana Progresif
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP dapat dikatakan sebagai kebijakan hukum pidana yang progresif.
Di dalam Pasal 2, misalnya, apabila
nilai barang atau uang tidak lebih dari Rp 2,5 juta, pemeriksaan dilakukan oleh
hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat dan tidak menetapkan penahanan
atau perpanjangan penahanan.
Perma tersebut terbit sebagai respon terhadap banyaknya
perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil yang diadili di pengadilan dan
mendapatkan sorotan masyarakat. Selain dipandang masyarakat tidak adil,
mengadili perkara pencurian ringan juga membebani pengadilan, baik dari segi
anggaran maupun persepsi publik terhadap pengadilan.
Setelah itu, banyak bermunculan kebijakan yang
berorientasi pada pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan
perkara pidana. Penggunaan pendekatan tersebut dalam menyelesaikan perkara
pidana di luar pengadilan merupakan suatu upaya progresif menembus dinding
hukum acara pidana yang sangat formalistik.
Di antaranya, pertama, Surat Edaran Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara
Pidana, yang dikeluarkan pada tanggal 27 Juli 2018. Kedua, Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan
Tindak Pidana, yang ditetapkan pada tanggal 4 Oktober 2019.
Ketiga, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restoratif, yang ditetapkan pada tanggal 21 Juli 2020 dan diundangkan pada
tanggal 22 Juli 2020. Keempat, Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang
Pemberlakukan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice),
yang ditetapkan pada tanggal 22 Desember 2020.
Di dalam berbagai praktik penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan, muncul juga mediasi penal. Mediasi penal dapat diposisikan sebagai alternatif
dalam penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice.
Posisi yang disematkan kepada mediasi penal tersebut mengingat dan untuk menjawab persoalan dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia.
Dengan demikian, hukum pidana progresif dapat
dibaca sebagai pembaruan hukum pidana yang memberikan kesempatan kepada rakyat
untuk menemukan sendiri bagaimana keadilan itu ditegakkan. Artinya, tidak hanya
pengadilan saja yang berwenang mengadili dan memutus suatu perkara pidana.(*)
0 Komentar