Ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian.
![]() |
https://padek.jawapos.com/wp-content/uploads/2021/02/ilustrasi-uu-ite-istockphoto.jpg |
Yang dimaksud sebagai “UU ITE” adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016. Gagasan UU ITE bermula sekitar awal tahun 2000 saat era Presiden Abdurrahman Wahid. Ketika itu, masih terjadi kekosongan hukum di ranah dunia maya atau siber. Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Padjajaran (Unpad) masing-masing menyusun konsep RUU Cyberlaw.
RUU
Cyberlaw versi Unpad bersifat umum yang mengatur mulai dari perlindungan hak pribadi, e-commerce, persaingan usaha tidak
sehat, perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual, dan tindak pidana
siber. Konsep cyberlaw Unpad tersebut bernama RUU Pemanfaatan Teknologi
Informasi (TI).
Konsep
RUU Cyberlaw versi UI bersifat spesifik, yaitu hanya mengatur
yang berkaitan dengan transaksi elektronik, semisal tanda
tangan digital. UI menamainya RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
(IETE).
Gagasan
UI dan Unpad kemudian digabung menjadi satu naskah RUU pada 2003. Saat itu, era
Presiden Megawati Soekarnoputri.
Setelah
melalui pembahasan di DPR yang berlangsung sejak 2003, UU ITE akhirnya disahkan
DPR pada 25 Maret 2008. UU ITE kemudian diteken Presiden SBY pada 21 April 2008
dan diundangkan di hari yang sama.
DPR
RI bersama Pemerintah akhirnya merevisi UU ITE dan disahkan pada tanggal 27
Oktober 2016. Revisi UU ITE diteken Jokowi pada
tanggal 25 November 2016 dan diundangkan di hari yang sama.
UU ITE
sebagai Hukum Pidana Administrasi
"UU ITE
ini merupakan UU Administrasi, bukan UU Pidana. UU Administrasi itu
tidak boleh mengandung pidana berat. Paling-paling kurungan enam bulan atau
denda. Dan, yang paling banyak itu mestinya sanksi administrasi, sanksi
administratif, misalnya, tutup perusahaan cabut izin, nah itu, bukan
pidana," kata Prof. Dr. Jur. Andi
Hamzah, S.H., M.H.,
dalam acara Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan TVOne, Selasa, 5
Februari 2019.
Menurut Indriyanto Seno Adji, hukum pidana administrasi atau lazim disebut “administrative
penal law” adalah semua produk legislasi berupa perundang-undangan (dalam
lingkup) administrasi (negara) yang memiliki sanksi pidana. Agar seluruh
ketentuan administrasi negara dapat berlaku secara efektif, maka dikembangkan
suatu kebijakan penegakan hukum dengan melakukan fungsionalisasi aspek hukum
pidana dalam peraturan-peraturan yang bersifat administrasi, sehingga
memunculkan hukum pidana administrasi (Santoso
2020, 233–34).
Logikanya adalah hendaknya sanksi pidana tersebut
didayagunakan apabila sanksi administratif sudah tidak mempan. Namun,
langkah-langkah yang bersifat shock therapy kadang-kadang perlu
dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana yang sudah
keterlaluan dan menimbulkan kerugian besar (Muladi 1995, 42).
Mengutip pendapat Edward
O.S. Hiariej dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh televisi nasional
pada tahun 2020 yang lalu, hukum pidana
administrasi adalah hukum pidana khusus eksternal yang memiliki 3 (tiga)
karakter. Pertama, sanksi pidananya
adalah ultimum remidium. Kedua, stelsel pemidanaannya adalah alternatif (menggunakan kata “atau”).
Ketiga, sanksi administratif merupakan subtitute
dari sanksi pidana.
Tentang ultimum remidium, Topo Santoso memberikan beberapa catatan penting. Pertama, ultimum
remidium diartikan sebagai “pengobatan (remidi) terakhir” dan
“senjata pamungkas” yang dimaksudkan bahwa hukum pidana hendaknya digunakan
apabila benar-benar tidak ada jalan lainnya untuk menanggulangi persoalan di
masyarakat (Santoso 2020, 121–54).
Kedua, ultimum remidium sebagai prinsip
moral hanya menjadi pedoman moral, sedangkan sebagai prinsip hukum akan
mempunyai konsekuensi apabila tidak digunakan dalam penyusunan perundang-undangan
dan penegakan hukum. Ketiga, di Uni Eropa, ada 2 (dua) langkah ketika mengambil
keputusan tentang tindakan pidana, yaitu mempertimbangkan kebutuhan dan
proporsionalitas serta menentukan tindakan konkrit yang dibatasi oleh aturan
minimum dan pendefinisian secara jelas berbasis bukti faktual sesuai data
statistik dari otoritas nasional.
Penegakan Hukum (Pidana) terkait UU ITE
Merujuk pada situs
registrasi Mahkamah Agung (MA), ada 508
perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang
2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Kedua adalah kasus
ujaran kebencian
Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Kedua pasal
ini memiliki tafsir yang sangat lentur, sehingga banyak orang bisa dengan mudah terjerat UU ITE (Tempo 2020).
Terkait rilis sebagaimana tersebut di atas, penulis
mencatat ada 4 (empat) hal yang sangat krusial. Pertama, Di dalam UU ITE
mengatur perihal: (1) informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik; (2)
penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik; (3) transaksi
elektronik; (4) nama domain, hak kekayaan intelektual, dan perlindungan hak
pribadi; (5) perbuatan yang dilarang; (6) penyelesaian sengketa; (7) peran
pemerintah dan peran masyarakat; (8) penyidikan; serta (9) ketentuan pidana.
Artinya, UU ITE tidak hanya mengatur perbuatan yang dilarang dan ketentuan
pidana, tetapi ada hal-hal administratif yang diperlukan. Oleh karena itu, UU ITE dapat dikategorikan sebagai
undang-undang administrasi yang memuat ketentuan pidana atau hukum pidana
administrasi atau hukum pidana khusus eksternal yang mempunyai kriteria-kriteria
tertentu.
Kedua, merujuk kepada data pada laman MA sebagaimana
dilansir oleh Tempo.co, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang
berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat
(3) UU ITE) dan ujaran kebencian (Pasal 28 ayat (2) UU ITE). Artinya,
hukum pidana digunakan sebagai upaya utama dalam menyikapi perbuatan-perbuatan
yang melanggar UU ITE. Dengan demikian, penegakan
hukum terkait UU ITE telah melampaui “hakikatnya” sebagai hukum pidana
administrasi, karena tidak mengedepankan atau mengabaikan prinsip ultimum
remidum.
Ketiga, ketentuan pidana pada UU ITE diatur di dalam
Pasal 45, Pasal 45 A, Pasal 46 B, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal
50, Pasal 51, dan Pasal 52. Stelsel pidana yang dipakai adalah
kumulatif-alternatif dengan menggunakan frasa “dan/atau”. Dengan demikian, UU ITE telah melampaui “hakikatnya” sebagai hukum
pidana administrasi, karena tidak menggunakan stelsel pidana secara alternatif
dengan menggunakan kata “atau”.
Keempat, merujuk kepada data pada laman MA sebagaimana
dilansir oleh Tempo.co, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE
sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan
penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) dan ujaran
kebencian (Pasal 28 ayat (2) UU ITE). Artinya, pidana masih dijadikan sebagai
sanksi utama oleh penegak hukum bagi yang melanggar UU ITE. Dengan demikian, UU ITE telah melampaui “hakikatnya” sebagai
hukum pidana administrasi, karena nyatanya sanksi administrasi bukan merupakan subtitute
dari sanksi pidana.
Mengubah Substansi atau Penegak Hukum yang Harus “Menyesuikan Diri”?
Apabila mengubah
substansi UU ITE bukan hanya sebuah wacana, maka penulis memberikan 3 (tiga)
rekomendasi. Pertama, penegakan hukum pidana terkait UU ITE harus berdasarkan
pada prinsip ultimum remidium, yaitu mengedepankan upaya-upaya nonpenal.
Kedua, pembentuk undang-undang penting untuk mengubah stelsel pidana di dalam
UU ITE menjadi alternatif. Ketiga, pembentuk undang-undang penting untuk merumuskan
pasal yang menentukan bahwa pidana adalah sanksi yang terakhir.
Apabila kemudian mengubah substansi UU ITE hanya
sebuah wacana, maka pilihan rasionalnya adalah penegak hukum yang harus
“menyesuaikan diri”. Sesungguhnya pilihan yang sangat rasional ini telah
memiliki beberapa dasar hukum untuk mengembalikan UU ITE kepada hakikatnya
sebagai hukum pidana administrasi.
Pertama, Kapolri telah menandatangani surat edaran
nomor: SE/2/11/2021, 19 Februari 2021. Isinya, penyelesaian perkara pidana
terkait UU ITE diupayakan menggunakan pendekatan restorative justice.
Salah satu rujukannya adalah surat edaran yang dikeluarkan pada tahun 2018 dan
peraturan kapolri tentang penyidikan yang memungkinkan menerapkan pendekatan restorative
justice. Kiranya selaras juga dengan peraturan kejaksaan mengenai penerapan
restorative justice.
Kedua, Putusan MA No. 225 PK/PID.SUS/2011, tanggal 17 September 2012, dapat menjadi rujukan bagi hakim yang tengah memeriksa perkara pidana terkait UU ITE. Putusan tersebut terkait perkara pidana yang pernah menjerat Prita Mulyasari yang didakwa melakukan pencemaran nama baik saat mengeluhkan pelayanan kesehatan Omni Hospital Alam Sutera. Melalui putusan peninjauan kembali tersebut, Prita Mulyasari bebas dari semua dakwaan.(*)
-
0 Komentar