Asas Persamaan di Hadapan Hukum Pidana

Dalam penegakan hukum, misalnya, tidak ada satupun warga negara yang kebal terhadap hukum yang berlaku, termasuk hukum pidana. Hal ini umum dikenal dengan wujud dari asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law.

oleh MOCH ICHWAN KURNIAWAN
https://goveganworld.com/wp-content/uploads/2019/03/justice.jpg

Sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam konsep negara hukum itu, idealnya, hukum yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan politik atau ekonomi. Tunduknya otoritas negara kepada hukum telah secara eksplisit diwujudkan dengan membentuk peraturan perundang-undangan, misalnya, yang mengatur perihal tindak pidana di Indonesia (Rizal 2015:27–28).

Konsepsi negara yang disebut sebagai “Negara Hukum” adalah pengertian yang menghendaki suatu kekuasaan negara ataupun kedaulatan haruslah dilaksanakan sesuai hukum. A.V. Dicey menyebut, negara hukum menghendaki pemerintahan itu kekuasaannya berada di bawah kendali aturan hukum (the rule of law). Menurutnya, terdapat 3 (tiga) unsur utama di dalam negara hukum. Pertama, supremacy of law, yaitu hukum mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara. Kedua, equality before the law, yaitu persamaan bagi seluruh warga negara di hadapan hukum. Ketiga, constitusion based on individual rights, yaitu suatu konstitusi bukan sebagai sumber dari hak asasi manusia (HAM), namun HAM harus juga memiliki aspek perlindungan (Aedi and Samekto 2013:1).

Sementara itu, sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung Nomor: 221/Pid.B/2019/PN.Bdg, pernah terjadi suatu peristiwa kejahatan terhadap kemerdekaan dan kekerasan. Pertama, peristiwa tersebut berawal dari seorang yang bernama Cahya Abdul Jabar yang mengaku-ngaku menjadi Habib Bahar bin Smith ketika berada di Bali atas perintah rekannya, yaitu Muhammad Khoerul Umam Al Mudzaqi. Perbuatan yang dimaksud akhirnya diketahui oleh Habib Bahar melalui jamaahnya.

Lalu, setelah Cahya Abdul Jabar dan Muhammad Khoerul Umam Al Mudzaqi (keduanya merupakan korban) pulang dari Bali, Habib Agil (terdakwa), Habib Bahar (terdakwa), beserta rekan yang lain mencari alamat keduanya. Pencarian tersebut berhasil dan keduanya dibawa ke pondok pesantren Tajul Alawiyyin di Bogor.

Di pondok pesantren tersebut, kedua orang korban langsung diinterogasi oleh para terdakwa. Tidak berhenti di situ, kedua orang korban mengalami kekerasan. Kekerasan tersebut bahkan dipertontonkan di area pondok pesantren dan dilihat oleh para santri pada pondok pesantren Tajul Alawiyyin. Akibatnya, kedua korban mengalami luka berat.

Berdasarkan peristiwa pidana sebagaimana tersebut di atas, studi konseptual ini akan menjelaskan bagaimana hukum di Indonesia ini belaku kepada siapapun tanpa terkecuali sebagai penerapan asas persamaan di hadapan hukum. Bilamana terjadi perbuatan melanggar hukum, maka prosedur menurut hukumlah yang akan digunakan.

Asas Persamaan di Hadapan Hukum

Asas persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam hukum. Asas ini dapat menjadi tolok ukur bagaimana hukum itu dapat berkeadilan kepada seluruh masyarakat. Menurut asas ini, setiap warga negara mendapatkan perlindungan dan keadilan yang sama di depan hukum. Asas ini berkembang luas di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Asas persamaan di hadapan hukum adalah suatu asas yang menciptakan suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu atau manusia tanpa ada suatu pengecualian atau keistimewaan. Asas persamaan di hadapan hukum itu dapat dijadikan sebagai standar dan perlindungan  terhadap kelompok-kelompok marjinal atau kelompok minoritas (Walukow 2013:164).

Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan ini merupakan dasar bagi setiap warga negara untuk memiliki hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan kata lain, pengaturan tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.(Walukow 2013:163)

Adapun menurut Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur,Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

Pasal-pasal tersebut mempertegas adanya asas equality before the law yang berarti menandakan bahwa adanya persamaan di hadapan hukum bagi setiap orang. Oleh karena itu, tidak boleh ada perilaku diskriminatif terhadap salah satu pihak yang mencari keadilan di hadapan hukum dalam suatu proses peradilan di pengadilan. Pun, tidak boleh adanya unsur subjektifitas, seperti memandang status sosial, warna kulit, ras, suku, bahasa, agama, kepercayaan, dan yang lainnya (Rofingi 2019:60).

Penerapannya

Majelis Hakim, sebagaimana dalam Putusan PN Bandung Nomor: 221/Pid.B/2019/PN.Bdg, menjatuhkan putusan pidana pada tanggal 1 Juli 2019, salah satunya, “Menyatakan Terdakwa Agil Yahya alias Habib Agil Bin Faruk Al Yahya, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 80 ayat (2) jo Pasal 76 c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Dakwaan Ketiga Jaksa Penuntut Umum”.

Perlu diingat bahwa negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan aturan hukum yang berlaku yang tersusun di dalam peraturan perundang-undangan terhadap semua orang tanpa terkecuali. Dalam hal ini, baik yang diperintah maupun yang memerintah, wajib tunduk kepada hukum yang sama. Dengan demikian, setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa memandang gender, ras, suku agama, warna kulit, kepercayaan, dan kekayaan (Rofingi 2019:51).

Suatu negara hukum harus memiliki sistem hukum yang berkeadilan. Tidak ada seorang atau sebagian orang yang kebal terhadap hukum dan tidak ada orang yang dapat terlepas dari hukum itu. Maknanya adalah setiap orang di Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Hukum yang berlaku atau diberlakukan di Indonesia harus menutup pintu bagi tumbuhnya sistem eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah (Khanif 2017:7).

Sesuai dengan penjelasan di atas, maka hukum itu wajib berlaku dan ditegakkan, meskipun kepada tokoh masyarakat, misalnya seorang habib, sepanjang dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Salah satu contohnya adalah terhadap Habib Agil bin Faruk yang menjadi terdakwa atas kejahatan terhadap kemerdekaan orang lain dan kekerasan yang mengakibatkan luka berat. Dalam perkata tersebut, Habib Agil bin Faruk melakukan tindak pidana secara bersama-sama dengan Habib Bahar bin Smith beserta rekan-rekannya yang lain.

Sesuai dengan perkara di atas, telah tepat menurut hukum apabila Habib Agil bin Faruk yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana untuk dilakukan penegakan hukum pidana terhadapnya. Di sinilah dapat dilihat bagaimana penerapan asas persamaan di hadapan hukum dalam praktik peradilan pidana di Indonesia. Meskipun seorang habib dengan banyak pengikut dan dimuliakan para jamaahnya, namun ketika melakukan perbuatan melawan hukum, maka akan tetap sama perlakuannya di hadapan hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

-

MOCH ICHWAN KURNIAWAN adalah Mahasiswa pada Fakultas Syariah IAIN Kediri.

Posting Komentar

0 Komentar