Optimalisasi mediasi penal merupakan upaya sekaligus jawaban atas persoalan overcrowded di Indonesia. Juga sesungguhnya termasuk reimagining the vision on law and human rights, khususnya pada aspek alternative forms of justice dalam hukum pidana.
![]() |
https://www.vkeel.com/blog/wp-content/uploads/2021/10/Mediation-In-Criminal-Disputes-In-India.jpg |
Tercatat
sampai dengan tanggal 19 Juni 2020, ada 229.431 penghuni lembaga pemasyarakatan
dan rumah tahanan di Indonesia, sedangkan kapasitasnya hanya 132.107. Artinya, overcrowded mencapai 74%. Di antara para
penghuni tersebut, ada 49.679 orang masih berstatus sebagai tahanan.
Sementara
itu, pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum dapat diprediksi kapan akan
berakhir. Dalam keadaan demikian, potensi terjadinya tindak pidana selama masa
pandemi Covid-19 yang memungkinkan akan menambah jumlah penghuni lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan tidak dapat dihindarkan. Walaupun saat ini,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah mengeluarkan
kebijakan integrasi dan asimilasi untuk menekan laju
penyebaran virus Covid-19
Penumpukan
jumlah tahanan tersebut dapat diatasi juga, salah satunya, dengan
mengoptimalkan alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Sebut
saja mediasi penal. Secara konseptual, begitu juga dalam praktik selama ini,
mediasi penal mampu menjamin pemenuhan keadilan, baik bagi korban maupun
pelaku.
Hingga
kini, mediasi penal masih belum diatur secara khusus di dalam undang-undang.
Pengaturannya masih tersebar secara sektoral. Pertama, Surat Edaran Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Surat edaran tersebut dikeluarkan pada
tanggal 27 Juli 2018.
Kedua,
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
tentang Penyidikan Tindak Pidana. Di dalam peraturan yang ditetapkan pada
tanggal 4 Oktober 2019 itu, penyelesaian perkara pidana dengan jalan perdamaian
antara pelaku dengan korban diatur dalam Pasal 12.
Ketiga,
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan tersebut ditetapkan pada
tanggal 21 Juli 2020 dan diundangkan pada tanggal 22 Juli 2020.
Keempat,
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakukan Pedoman
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice). Keputusan tersebut ditetapkan pada tanggal 22 Desember 2020.
Optimalisasi
mediasi penal yang berdasar pada aturan sektoral tersebut adalah suatu
keniscayaan. Dalam praktik, permasalahan unintegrated
sangat dimungkinkan terjadi. Untuk itu, perlu ada persamaan persepsi
antarpenegak hukum. Pelibatan masyarakat untuk memantau juga diperlukan. Selain
menjawab persoalan overcrowded,
konsep dan praktik mediasi penal selama ini telah menorehkan cerita sukses
perihal pemenuhan hak-hak korban dalam penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan.
Optimalisasi
mediasi penal merupakan upaya sekaligus jawaban atas persoalan overcrowded di Indonesia. Dalam masa
pandemi Covid-19, optimalisasi mediasi penal sesungguhnya juga merupakan upaya reimagining the vision on law and human
rights, khususnya pada aspek alternative
forms of justice dalam hukum pidana.(*)
-
MOCH. CHOIRUL RIZAL adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah IAIN Kediri. Sebagai salah satu bentuk pengabdiannya kepada masyarakat, ia menjadi Direktur Eksekutif sekaligus Peneliti pada Lembaga Studi Hukum Pidana.
0 Komentar