Pihak Ketiga dalam Praperadilan di Indonesia

Penafsiran hukum terhadap pihak ketiga yang berkepentingan memerlukan interpretasi yang luas. Pihak tersebut bukan hanya saksi atau korban saja, melainkan masyarakat luas yang dapat diwakili oleh lembaga yang memperjuangkan kepentingan publik.

oleh NURHANA

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya cukup disebut “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” atau “KUHAP”) memberikan pengertian praperadilan sebagai wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus: (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan; (b) sah dan tidaknya penghentian penyidikan atau penghentinan penuntutan; dan/atau (c) permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Kewenangan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP tentang Praperadilan.

Di dalam KUHAP, praperadilan merupakan lembaga yang baru. Tolib Effendi menjelaskan, penggunaan kata lembaga tidak merujuk pada suatu institusi atau suatu struktur dalam penegakan hukum, tetapi menunjukkan pada sebuah badan atau bentuk yang memiliki tujuan yang jelas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP (Effendi 2014:154).

Penjelasan Pasal 80 KUHAP juga menjelaskan, keberadaan praperadilan ditujukan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal. Dalam kerangka sistem peradilan pidana, pengawasan horizontal merupakan pengawasan antarlembaga yang masing-masing komponen lembaga tersebut memiliki kewenagan untuk mengawasi fungsi masing-masing komponen yang dimaksud. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk menghindari tindak sewenang-wenang aparat dalam melaksanakan tugasnya (Effendi 2014:156).

Pasal 79 KUHAP, Pasal 80 KUHAP, dan Pasal 81 KUHAP mengatur siapa-siapa saja yang berhak mengajukan permohonan dalam praperadilan. Namun demikian, di antara beberapa subjek yang ditentukan dalam 3 (tiga) pasal tersebut, “pihak ketiga yang berkepentingan” belum diberikan penjelasan menurut hukum. M. Yahya Harahap menyebut, secara umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan. Para saksi korban yang paling berkepentingan dalam pemeriksaan tindak pidana. Apabila demikian, maka yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam peristiwa pidana (Harahap 2019:9).

KUHAP tidak memberikan penjelasan hukum tentang siapa yang disebut “pihak ketiga yang berkepentingan” yang berkaitan dengan permohonan pengajuan praperadilan. Dengan demikian, perlu kiranya melihat kepada peraturan perundang-undangan yang lainnya yang sekiranya memuat pengaturan perihal konsep tersebut. Tidak menutup kemungkinan juga adanya penafsiran dari para pakar hukum untuk menafsirkan konsep hukum yang dimaksud.

Dalam peraturan perundang-undangan yang lainnya, misalnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat pengaturan mengenai peran serta masyarakat. Adanya pengaturan tersebut dapat ditafsirkan bahwa masyarakat umum adalah pihak yang dapat mengajukan suatu permohonan praperadilan, baik dalam perkara tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Menurut Rihal Amel Aulia Haqi, masyarakat umum ditempatkan sebagai korban tidak langsung sekaligus warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengupayakan penegakan hukum (Haqi 2008:82).

Di dalam doktrin, M. Yahya Harahap menjelaskan, apabila tujuan mempraperadilan penghentian penyidikan atau penuntutan untuk mengoreksi atau mengawasi kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian itu secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat bahwa kehendak pembuat undang-undang dan kehendak publik atas penerapan pihak ketiga yang berkepentingan itu meliputi masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan. Menafsirkan serta menerapkan pihak ketiga yang berkepentingan secara luas sangat bermanfaat untuk mengawasi penghentian penyidikan maupun penuntutan yang dilakukan penuntut umum, misalnya dalam tindak pidana korupsi (Harahap 2019:11).

M. Yahya Harahap memberikan pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam artian yang luas, yaitu  semua pihak selain penyidik dan penuntut umum, dan mempunyai kepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan. Pada dasarnya, penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan umum. Apabila bobot kepentingan umum dalam tindak pidana yang bersangkutan sedemikian rupa, maka sangat layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili oleh LSM atau organisasi kemasyarakatan untuk mengajukan praperadilan.

Pengertian secara luas tersebut memasukkan peran masyarakat ataupun perwakilan dari masyarakat umum (LSM) untuk ikut serta menjadi pihak yang mengawasi jalannya proses peradilan, baik dalam tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus, yang kerugiannya secara tidak langsung diterima masyarakat. Masyarakat umum atau perwakilan dari masyarakat umum (LSM) berhak untuk mengawal proses jalannya hukum dan ikut serta meluruskan apabila ada hal yang sekiranya salah, yaitu salah satunya dengan cara mempraperadilankan perkara yang seharusnya dan yang tidak seharusnya.

Di dalam putusan hakim, frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” pernah tersebut dalam permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 80 KUHAP terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 , Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Permohonan yang dimaksud telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) melalui Putusan Nomor 76/PUU-X/2012, tanggal 8 Januari 2013.

Pemohon (Dr. Ir. Fadel Muhammad) dalam perkara tersebut merasa dirugikan hak konstitusionalnya yang diakibatkan adanya gugatan praperadilan yang dilakukan oleh LSM yang bernama Gorontalo Corruption Watch terhadap SP3 Nomor PRINT-182/R.5/Fd.1/08/2009, tertanggal 21 Agustus 2009, atas nama pemohon. Gugatan praperadilan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Gorontalo dan dikabulkan sebagaimana tersebut dalam Putusan Nomor 04/Pid.Praperadilan/2011/PN.Gtlo, tertanggal 13 Desember 2011, sehingga pemohon kembali dinyatakan sebagai tersangka.

MKRI berpendapat, KUHAP memang tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan”, sehingga perlu adanya interpretasi secara luas. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “pihak ketiga yang berkepentingan” bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor. Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a qou tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja, tetapi juga harus mencakup masyarakat luas, yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy), seperti LSM atau organisasi masyarakat lainnya. Hal tersebut mengingat pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakan hukum pidana yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum.

Pengawasan terhadap penegakan hukum di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, partisipasi warga negara dan/atau organisasi masyarakat yang memiliki visi dan misi yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) sangat diperlukan. Dalam beberapa putusannya, MKRI juga telah menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang bukan hanya kepada perseorangan warga negara Indonesia, tetapi juga perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) yaitu berbagai asosiasi, non-governmental organization (NGO), atau LSM yang concern terhadap suatu undang-undang demi kepentingan publik.

Berdasarkan doktrin dan putusan hakim, pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan permohonan praperadilan adalah korban yang terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung. Korban langsung, misalnya, pihak yang dirugikan, baik harta, raga, ataupun nyawa. Sementara itu, korban tidak langsung, misalnya dalam perkara korupsi, adalah masyarakat luas yang dirugikan atas penggunaan uang yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.

Terlebih kemudian, tujuan dibuatnya undang-undang adalah menghendaki adanya keadilan untuk semua lapisan masyarakat. Pun, oleh karena Indonesia merupakan negara hukum, seyogianya semua warga negara berhak untuk mengajukan hak hukumnya, tidak terkecuali LSM sebagai perwakilan dari masyarakat umum.

-

NURHANA adalah mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Kediri.

Posting Komentar

0 Komentar