Edukasi kepada masyarakat tentang bahaya mengonsumsi minuman beralkohol menjadi penting. Juga, perlu dilakukan standarisasi kualitas minuman beralkohol yang beredar di masyarakat.
![]() |
https://www.hklaw.com/ |
Presiden Joko Widodo mencabut Lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun
2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang di
dalamnya mengatur, salah satunya, perihal izin investasi minuman
keras. Peraturan tersebut merupakan salah satu aturan pelaksana Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja.
Pro dan kontra terjadi pada masyarakat mengenai
pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras berbahan alkohol
tersebut. Sementara pihak yang mendukung menyebut investasi minuman beralkohol
akan membuka peluang penyerapan tenaga kerja,
menambah pemasukan negara, dan mengendalikan peredarannya yang tidak
terkontrol.
“Setelah menerima masukan dari ulama-ulama, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
ormas-ormas lain, tokoh-tokoh agama, juga masukan-masukan dari provinsi dan
daerah, bersama ini saya sampaikan saya putuskan lampiran Perpres terkait
pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol
saya nyatakan dicabut”, ungkap Presiden Joko Widodo.
Riset Center for
Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan,
sepanjang tahun 2008 hingga 2013, ada sekitar 230 korban tewas
akibat mengonsumsi minuman keras tak berizin. Kemudian, pada tahun 2014 hingga 2018,
jumlah korbannya naik 2 (dua) kali lipat mencapai
sekitar 540 orang. Selama ini, peredaran minuman
beralkohol tidak terkontrol dengan baik, sehingga
menimbulkan kerugian pada konsumen yang mengkonsumsinya.
Penyalahgunaan minuman beralkohol, khususnya pada anak, akan berujung kepada terjadinya ketergantungan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor kepribadian, yaitu rasa kurang percaya
diri, mudah kecewa, rasa ingin tahu dan coba-coba, atau pelarian dari suatu masalah. Dapat juga disebabkan oleh faktor
lingkungan, yaitu keluarga, sekolah, teman sebaya, dan lingkungan
masyarakat. Dalam perspektif yang lain, penyalahgunaan
minuman beralkohol dapat berdampak pada keracunan disertai dengan
perilaku berisiko, seperti aktivitas menyimpang yang tidak aman,
kecelakaan, dan tindak kejahatan.
Maraknya peredaran minuman beralkohol yang sudah
sangat luas pemasarannya dan lemahnya pengawasan terhadap minuman beralkohol
mengakibatkan banyak dari pelaku usaha atau penjual
minuman beralkohol berbuat curang. Salah satu di antaranya adalah dengan cara mengoplos minuman beralkohol dengan bahan-bahan yang tidak
seharusnya dikonsumsi oleh konsumen, sehingga banyak dari konsumen yang
nyawanya terancam akibat mengkonsumsi minuman beralkohol oplosan tersebut.
Sudah ada beberapa aturan,
baik dari pusat dan daerah, terkait pembatasan
minuman beralkohol, di antaranya: Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013
tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol; Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan
terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol beserta
perubahan-perubahannya hingga yang terbaru,
yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019; Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi,
Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol yang telah diperbarui melalui
Peraturan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2016; serta Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur
Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional
Beralkohol Khas Nusa Tenggara Timur
atau yang dikenal dengan nama sopi.
Pada
faktanya, terdapat pula minuman beralkohol yang
memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah menjadi
bagian budaya kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari keberadaan
beberapa minuman beralkohol lokal, baik untuk kepentingan rekreasional maupun
ritual, seperti tuak Batak, arak Bali, sopi dari Maluku, moke dari Nusa Tenggara
Timur, dan lain sebagainya. Tentu hal ini tidak dapat kita
hindari, belum lagi bahwa cara membuat dan penggunaan minuman beralkohol lokal
tersebut telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan,
Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum. Negara wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya.
Perlindungan hukum identik dengan pengakuan terhadap harkat dan martabat warga
negaranya sebagai manusia.
Philipus M. Hadjon menyebutkan, perlindungan hukum
adalah perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan. Ketentuan hukum yang dimaksud merupakan kumpulan
peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya (Hadjon 1987, 1).
Philipus M. Hadjon juga mengatakan, Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah
memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya yang menyangkut harkat dan
martabat sesuai dengan Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Perlindungan hukum di
dalam negara yang berdasarkan Pancasila, maka yang paling penting ialah asas
kerukunan berdasarkan kekeluargaan. Asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan
menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
masyarakat sedapat mungkin ditangani oleh pihak-pihak yang bersengketa (Hadjon 1987, 84).
Jadi, perlindungan hukum
merupakan segala bentuk upaya pengayoman kepada harkat dan martabat manusia
serta adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia di bidang hukum. Perlindungan
hukum juga diartikan sebagai upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada warga negara agar hak-haknya sebagai
seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi yang melanggarnya akan mendapat
sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam
perspektif perlindungan konsumen, perlindungan hukum
kepada konsumen juga dijelaskan oleh Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Menurut pasal tersebut, perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Apabila
dikaitkan dengan penerapan
Pasal 4 jo Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1999, konsumen memiliki hak
untuk memperoleh perlindungan atas perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal 4 huruf a UU No. 8 Tahun
1999, misalnya, menjelaskan hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Di sisi yang lain, Pasal 8 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun
1999 menjelaskan, pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Setiap konsumen dalam memakai suatu produk berharap
atas jaminan keamanan. Jaminan keamanan ini pada gilirannya memberikan
keselamatan dan kenyamanan dalam menggunakan suatu produk. Dalam menjamin
keamanan produk yang digunakan konsumen diperlukan standar mutu produk (Handajani, Al Imron, and Ariadi 2006, 41).
Pelaku usaha bertanggung-gugat untuk memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumsi akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Bentuk ganti rugi dimaksud adalah pengembalian
uang, penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis/setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Handajani, Al Imron, and
Ariadi 2006, 104).
Bukan
hanya pertanggungjawaban secara perdata,
pelaku usaha juga bertanggung jawab atas tuntutan pidana bilamana
ditemukan unsur-unsur pidana atas pelanggaran yang dilakukannya. Oleh karena itu,
UU No. 8 Tahun 1999 menentukan sanksi pidana serta hukuman
tambahan atas sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku usaha.
Pembukaan industri minuman beralkohol
akan memberikan keuntungan kepada beberapa orang,
namun akan menimbulkan kerugian besar bagi masa depan masyarakat. Kebijakan
pemerintah membuka aliran investasi untuk industri minuman keras berbahan
alkohol lebih mengedepankan kepentingan pengusaha daripada kepentingan rakyat.
Untuk itu, perlu adanya edukasi kepada anak dan seluruh masyarakat tentang bahaya mengonsumsi minuman beralkohol dengan cara yang tidak bertanggung jawab, seperti mengonsumsi dengan cara atau dalam jumlah yang berlebihan, mengonsumsi pada saat bekerja, pada saat mengemudi, pada saat hamil, dan lain sebagainya. Selanjutnya, perlu dilakukan standarisasi kualitas minuman beralkohol yang beredar di masyarakat umum, sehingga dapat dipastikan bahwa minuman beralkohol yang beredar adalah yang memenuhi standar untuk dikonsumsi.(*)
-
0 Komentar