Penahanan merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang dilakukan guna membatasi kebebasan tersangka atau terdakwa yang diduga kuat melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Kemerdekaan bergerak seseorang dapat dirampas melalui salah satu bentuk upaya paksa menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu penahanan. Menurut Pasal 1 angka 21 jo Pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa yang diduga keras sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya.
Dalam
penahanan terdapat 2 (dua) asas yang saling bertentangan. Hak bergerak
seseorang, yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati, secara
yuridis dirampas demi kepentingan ketertiban umum yang harus dipertahankan
untuk masyarakat dari perbuatan tersangka atau terdakwa. Inilah salah satu
bukti keistimewaan hukum pidana, khususnya pada aspek formil (hukum acara
pidana). Oleh karena itu, penahanan dilakukan apabila sangat perlu untuk
dilakukan (Hamzah 2011, 129). Namun, dalam praktiknya, penyidik dalam
melaksanakan upaya penyidikan cenderung melakukan upaya penahanan terhadap
tersangka (Sawitri
2011, 39).
Penahanan yang didasarkan pada alasan
subjektif terkadang telah merusak wibawa penegakan hukum yang bermartabat,
karena berpotensi menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan. Tersangka atau
terdakwa yang memiliki status sosial tertentu dan kemampuan ekonomi yang baik
dapat mempengaruhi keputusan pejabat yang berwenang, sebaliknya tersangka atau
terdakwa yang tidak mempunyai 2 (dua) modal tersebut hanya bisa pasrah menerima
penetapan untuk ditahan (Kasim and Nusa 2019, 74).
Penahanan dilakukan dengan adanya 2 (dua)
kemungkinan (Ranoemihardja
1983, 40–42). Pertama, ketika
tersangka tertangkap tangan. Pengertian dan dalam keadaan seperti apa
“tertangkap tangan” itu disebut dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP. Selanjutnya,
sesuai ketentuan dalam Pasal 111 KUHAP, setiap orang berhak dan yang mempunyai
wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum wajib menangkap
tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik
atau penyidik.
Kedua, tersangka tidak tertangkap tangan. Dalam
keadaan demikian, dapat diketahui bahwa ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat dilakukannya penahanan. Merujuk pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP,
penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
penetapannya berdasarkan bukti yang cukup. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, bukti yang
cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Tidak
terpenuhinya syarat ini mengakibatkan penahanan menjadi tidak sah (Kasim and
Nusa 2019, 76).
Selain adanya bukti yang cukup menurut hukum,
sesungguhnya masih ada syarat-syarat yang lain yang harus dipenuhi agar
penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat menetapkan penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa, yaitu adanya surat perintah penahanan, memenuhi unsur
objektif dan subjektif, dan tembusan surat perintah penahanan diberikan kepada
keluarga. Syarat-syarat tersebut untuk mengetahui
sejauh mana tindakan penahanan itu sah secara hukum (Kasim and
Nusa 2019, 75). Dengan kata lain, apabila syarat-syarat
yang dimaksud tidak terpenuhi, maka penahanan menjadi tidak sah secara hukum
atau ilegal.
Dalam internal Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap
No. 6 Tahun 2019), penahanan dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka dengan
dilengkapi surat perintah penahanan. Dengan demikian, merujuk pada Pasal 21
ayat (2) KUHAP jo Pasal 19 ayat (1)
Perkap No. 6 Tahun 2019, apabila penahanan tidak dilakukan oleh penyidik dan
tanpa adanya surat perintah penahanan, maka penahanan yang dimaksud adalah
tidak sah.
Syarat berikutnya agar penahanan yang dilakukan
terhadap tersangka atau terdakwa sah menurut hukum adalah tembusan surat
perintah penahanan diberikan kepada keluarga. Kewajiban demikian ditentukan
dalam Pasal 21 ayat (3) KUHAP, yaitu “Tembusan surat perintah penahanan atau
penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus diberikan kepada keluarganya.”
Syarat selanjutnya adalah penahanan harus memenuhi
unsur objektif dan subjektif. Menurut Moeljatno, sebagaimana dikutip Tolib
Effendi, objektif bermakna sebagai keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi
pendapat pribadi, terukur, dan dapat dibuktikan (Effendi
2014, 91–92). Dalam unsur
objektif, menurut Pasal 21 ayat (4) KUHAP, penahanan hanya dapat dikenakan
terhadap tersangka atau terdakwa dalam hal: (a) tindak pidana yang diancam
pidana penjara (5) lima tahun atau lebih; atau (b) tindak pidana yang disebut
dalam KUHP maupun peraturan hukum pidana yang lain sekalipun ancaman pidana
penjaranya kurang dari 5 (lima) tahun.
Unsur pertama ini disebut sebagai dasar hukum (untuk melakukan penahanan),
karena undang-undang telah menentukan kualifikasi tindak pidana seperti apa
yang berakibat dapat dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Artinya, ketika melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya kurang dari 5
(lima) tahun, maka penahanan tidak dapat dilakukan secara serta-merta terhadap
tersangka atau terdakwa (Kasim and
Nusa 2019, 76–77).
Namun, menurut Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP,
aparat penegak hukum dapat melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya kurang dari 5 (lima) tahun. Walaupun ancaman pidana penjaranya kurang dari
5 (lima) tahun, tindak pidana tersebut dianggap sangat mempengaruhi kepentingan
ketertiban masyarakat pada umumnya serta ancaman terhadap keselamatan badan
orang pada khususnya (Lubis 2015, 643).
Unsur berikutnya adalah unsur subjektif. Unsur ini
menitikberatkan kepada keadaan atau keperluan penahanan ditinjau dari segi
keadaan yang meliputi diri tersangka atau terdakwa (Kasim and
Nusa 2019, 77). Sesuai Pasal 21
ayat (1) KUHAP, keadaan yang memerlukan adanya penahanan adalah tersangka atau
terdakwa dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana. Dalam berbagai referensi, unsur ini
telah tepat untuk disebut sebagai unsur subjektif, karena pada dasarnya
penilaian terhadap keadaan hingga kekhawatiran terhadap tersangka atau terdakwa
menjadi penilaian secara subjektif oleh penyidik, penuntut umum, maupun hakim.
Supriyadi Widodo Eddyono menyebutkan, terdapat beberapa
2 (dua) indikator yang dapat digunakan untuk melihat unsur subjektif tersebut.
Pertama, potensi tersangka atau terdakwa untuk melarikan diri dapat dilihat
dari tingkat mobilitas, pekerjaan, keluarga, tidak ditemukan domisili atau
alamat tempat tinggal tetap. Kedua, merusak atau menghilangkan barang bukti
dapat dilihat dari berapa persen barang bukti yang didapatkan penyidik dan/atau
seperti apa akses, kemampuan, dukungan terhadap tersangka atau terdakwa selama
menjalani proses peradilan pidana tersebut (Eddyono
2014, 89).
Tolib Effendi menegaskan, unsur tersebut disebut
sebagai “unsur subjektif” mengingat hanya pihak yang khawatir saja yang dapat
memahami, tidak dapat diukur, dan tidak dapat dibuktikan. Apabila kekhawatiran
itu tidak ada, maka alasan subjektif untuk melakukan penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa tidak terpenuhi (Effendi
2014, 91). Dalam praktik,
unsur subjektif tersebut menjadikan penegak hukum terlalu leluasa menetapkan
tersangka atau terdakwa untuk ditahan atau sebaliknya, sehingga “tebang pilih”
atau “suka-tidak suka” sangat berpotensi terjadi (Kasim and
Nusa 2019, 78) dan tentunya mengabaikan kepastian hukum dan keadilan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia.
Terpenuhi syarat-syarat penahanan sebagaimana
diuraikan di atas menjadikan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menjadi
sah menurut hukum. Lantas, apa yang menjadi tujuan bahwa penahanan tersebut
harus dilakukan oleh penegak hukum terhadap tersangka atau terdakwa?
Pasal 20 KUHAP menyebutkan, penahanan dilakukan
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Dijelaskan lebih lanjut oleh M. Yahya Harahap, penahanan
dilakukan sebagai tindakan preventif, yaitu: (a) mencegah tersangka atau
terdakwa lebih lanjut melakukan tindak pidana; (b) mencegah tersangka atau
terdakwa mengintimidasi korban atau saksi; (c) tersangka atau terdakwa
berbayaha terhadap korban, saksi, atau orang lain; (d) mencegah untuk merusak
atau menghilangkan barang bukti; dan/atau (e) mencegah tersangka atau terdakwa
melarikan diri yang berdampak pemeriksaan terhalang (Harahap 2015, 163).
-
SHAFIRA CANDRA DEWI adalah Mahasiswa pada Fakultas Syariah IAIN Kediri.
0 Komentar