Dalam memutus perkara pidana, hakim berpegang teguh kepada surat dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Artinya, surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan di persidangan perkara pidana.oleh MOCH. CHOIRUL RIZAL ![]() |
https://akcdn.detik.net.id/visual/2020/04/30/72d60600-9135-49a7-b2be-c3f162013b38_169.jpeg?w=650 |
Para terdakwa pelaku penyerangan kepada Novel Baswedan dituntut satu tahun pidana penjara. Keduanya, menurut penuntut umum, terbukti melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut merupakan dakwaan subsidair sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan penuntut umum.
Tuntutan yang dibacakan penuntut umum pada
tanggal 11 Juni 2020 didasarkan pada ketidaksengajaan para terdakwa untuk
menyiram air keras (cairan asam sulfat) ke wajah Novel Baswedan (Tempo.co, 21
Juni 2020). Atas tuntutan tersebut, Tim Advokasi Novel Baswedan merasakan ada
kejanggalan. Bahkan, kalau merujuk pada beberapa perkara penyiram air keras,
para pelaku dituntut minimal delapan tahun hingga maksimal 20 tahun.
Oleh karena kesulitan dalam mengakses
dokumen persidangan dalam perkara tersebut, misalnya surat dakwaan, penulis
menelusuri dan menggunakan informasi yang diunggah di Sistem Informasi
Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Ketersediaan
informasi yang terbatas tersebut akan penulis gunakan untuk memberikan
catatan-catatan dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.
Pertama, sesuai kutipan surat dakwaan
penuntut umum sebagaimana dilansir pada laman SIPP PN Jakarta Utara, para
terdakwa, khususnya Rahmat Kadir Mahulette, melakukan beberapa perbuatan
sebelum kemudian menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan. Di antaranya
adalah: (a) mencari alamat rumah korban; (b) mempelajari akses jalan di dalam
kompleks perumahan; (c) mencari dan mendapatkan cairan asam sulfat; (d) memindahkan
ke dalam gelas yang tertutup dan terikat; (d) membuka ikatan plastik yang
menutup gelas yang berisi asam sulfat sesaat sebelum menyiramkan ke korban; (e)
menyiramkan asam sulfat ke kepala dan badan korban; dan (f) korban mengalami
luka berat.
Secara konseptual, penganiayaan adalah
kesengajaan yang menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang
lain. Kesengajaan dari pelaku tidaklah perlu ditujukan pada akibat tertentu.
Bisa jadi, akibat atas kesengajaan pelaku ditujukan pada perbuatan yang lain
(P.A.F. Lamintang, 1986: 112-113). Lalu, terkait perencanaan, Memori van Toelichting menyebutkan,
direncanakan itu disyaratkan adanya suatu jangka waktu tertentu untuk
merencanakan secara tenang dan untuk mempertimbangkannya kembali dengan tenang.
Lalu, korban mengalami luka berat.
Lantas, mengapa para terdakwa hanya
dituntut satu tahun pidana penjara?
Kedua, penuntut umum menganggap kedua
terdakwa tak sengaja menyiram air keras ke wajah Novel (Tempo.co, 21 Juni
2020). Padahal, semua pasal yang didakwakan terhadap para terdakwa diharuskan
ada kesengajaan untuk melakukan penganiayaan. Begitu juga menurut P.A.F.
Lamintang (1986: 112-113), kesengajaan dari pelaku tidaklah perlu ditujukan
pada akibat tertentu. Artinya, para terdakwa yang merencanakan menyiram air
keras ke badan Novel Baswedan, tetapi kemudian terkena wajahnya hingga
mengalami luka berat, itu tetap dapat dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan
berat dengan direncanakan lebih dulu (Pasal 355 ayat (1) KUHP).
Namun demikian, anggapan penuntut umum
tersebut kiranya merujuk pada adanya keraguannya dalam perkara tersebut dengan
menyusunan surat dakwaan berbentuk subsidaritas. Pun, pemecahan berkas perkara
yang menandakan kurang bukti. Bahkan, menurut Tim Advokasi Novel Baswedan,
penuntut umum tidak menghadirkan alat bukti yang merupakan “kunci” dalam
perkara tersebut.
Lantas, mengapa para terdakwa tidak
dituntut bebas saja?
Ketiga, menurut Tim Advokasi Novel
Baswedan, penuntut umum tidak terlihat sebagai representasi negara yang
mewakili kepentingan korban. Kiranya ini menarik, karena sistem peradilan
pidana di Indonesia masih berorientasi kepada kepentingan pelaku. Dalam hal
ini, restorative justice belum
berjalan baik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat korban
tindak pidana belum menjadi prioritas untuk dipulihkan hak-haknya.
Lantas, siapa sesungguhnya yang diwakili
oleh penuntut umum dalam suatu persidangan perkara pidana?
Keempat, surat tuntutan disusun
berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari pemeriksaan di persidangan.
Artinya, surat tuntutan tersebut merupakan kesimpulan penuntut umum. Kesimpulan
penuntut umum belum tentu sama dengan kesimpulan (dalam putusan) yang dibuat
oleh Hakim (Zulkarnain, 2013: 85).
Merujuk pada Pasal 191 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam memutus perkara pidana, hakim
berpegang teguh kepada surat dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Artinya,
surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan di persidangan perkara pidana.
Lantas, apakah hakim berpijak pada
tuntutan penuntut umum dalam memutus perkara pidana?
Kita tunggu bersama-sama.(*)
-
MOCH. CHOIRUL RIZAL adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah IAIN Kediri. Sebagai salah satu bentuk pengabdiannya kepada masyarakat, ia menjadi Direktur Eksekutif sekaligus Peneliti pada Lembaga Studi Hukum Pidana.
0 Komentar