Berkas perkara para terdakwa yang dipecah menjadi dua juga perlu mendapatkan perhatian. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.oleh MOCH. CHOIRUL RIZAL ![]() |
https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2020/03/19/c2fe036d-8ee6-4457-ac60-a5f3bd1c7655_169.jpeg?w=700&q=90 |
Proses penyelesaian perkara penyerangan terhadap Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, digelar menurut hukum acara pidana di Indonesia. Artinya, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pemeriksaan di persidangan dalam perkara tersebut merupakan suatu proses yang terintegrasi. Ada yang menyebutnya sebagai subsistem peradilan pidana yang terintegrasi.
Berkas perkara para terdakwa yang
diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut terbagi dalam dua berkas.
Pertama, berkas perkara yang teregister dengan nomor 371/Pid.B/2020/PN.JKT.Utr
untuk terdakwa Ronny Bugis. Kedua, berkas perkara yang teregister dengan nomor
372/Pid.B/2020/PN.JKT.Utr untuk terdakwa Rahmat Kadir Mahulette.
Walaupun diperiksa dengan berkas yang
dipisah (splitsing), pasal-pasal yang
didakwakan kepada keduanya sama. Dalam dakwaan yang disusun secara subsidaritas
tersebut, keduanya didakwa melanggar Pasal 355 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (sebagai
dakwaan primair), Pasal 353 ayat (2) KUHP jo
Pasal 55 (1) ke-1 KUHP (subsidair), lalu Pasal 351 ayat
(2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP (lebih subsidair).
Sehubungan dengan dakwaan tersebut,
menarik kiranya untuk menelaah dua hal. Pertama, tentang dakwaan yang disusun dalam
bentuk subsidaritas dan pemisahan berkas perkara. Kedua, tentang uraian singkat
pasal-pasal yang tersebut dalam dakwaan.
Surat Dakwaan
Pertama, surat dakwaan yang disusun dalam
bentuk subsidaritas maksudnya adalah surat dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang
disusun secara berurutan mulai dari pasal yang ancaman pidananya terberat
sampai teringan. Menurut M. Yahya Harahap (2015: 402), dalam dakwaan berbentuk
subsidaritas, penuntut umum ragu dan tidak berani menentukan secara pasti bahwa
akibat itu telah mengena terhadap satu pasal pidana tertentu. Seolah-olah
penuntut umum memasang jerat yang kasar sampai sehalus-halusnya. Bentuk surat
dakwaan yang demikian menunjukkan kemampuan Penuntut Umum dalam memahami serta
menganalisis perkara (Tolib Effendi, 2014: 147).
Lalu, berkas perkara para terdakwa yang
dipecah menjadi dua juga perlu mendapatkan perhatian. Pada umumnya, pemecahan
berkas perkara menjadi penting apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan
kesaksian. Seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat
dijadikan sebagai saksi secara timbal balik (M. Yahya Harahap, 2015: 442).
Pasal-Pasal Penganiayaan
Kedua, pasal-pasal yang didakwakan
terhadap para terdakwa diatur dalam Buku II Bab XX KUHP tentang Penganiayaan.
Bentuk penganiayaan yang pokok diatur dalam Pasal 351 KUHP. Sementara itu,
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengatur terkait penyertaan.
Penganiayaan adalah kesengajaan
menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain (putusan Hoge Raad tanggal 25 Juni 1894). Suatu
kesengajaan itu: (a) menimbulkan rasa sakit pada orang lain; (b) menimbulkan
luka pada tubuh orang lain; atau (c) merugikan kesehatan orang lain (P.A.F.
Lamintang, 1986: 111).
Penganiayaan merupakan tindak pidana
materiil, yaitu dianggap selesai apabila timbul akibat. Dalam hal ini,
kesengajaan dari pelaku tidaklah perlu ditujukan pada akibat tertentu. Bisa
jadi, akibat atas kesengajaan pelaku ditujukan pada perbuatan yang lain (P.A.F.
Lamintang, 1986: 112-113).
Artikel ini akan memberikan deskripsi
singkat mengenai pasal-pasal yang didakwakan, yaitu mulai dari dakwaan lebih
subsidair, subsidair, baru kemudian primair. Pasalnya, tindak pidana
penganiayaan dalam bentuk pokok (induk), terdapat pada pasal yang termasuk
sebagai dakwaan lebih subsidair dalam perkara tersebut.
Pasal 351 ayat (2) KUHP mengatur tentang
tindak pidana penganiayaan dalam bentuk pokok. Rumusan pasalnya adalah “Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka
berat pada tubuh, maka orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun.”
Pasal 90 KUHP menyebutkan, “Luka berat berarti: (-) jatuh sakit atau
mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang
menimbulkan bahaya maut; (-) tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencarian; (-) kehilangan salah satu pancaindera; (-)
mendapat cacat berat; (-) menderita sakit lumpuh; (-) terganggunya daya pikir
selama empat minggu lebih; (-) gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.”
Dalam hal ini, hakim mempunyai suatu kebebasan untuk menganggap setiap
keadaan yang “merugikan bagi tubuh
sebagai luka berat pada tubuh” yang menurut pengertian tata bahasa dapat
dianggap demikian (P.A.F. Lamintang, 1986: 126).
Pasal 353 ayat (2) KUHP mengatur tentang
tindak pidana penganiayaan yang memiliki kualifikasi “dengan direncanakan lebih
dulu”. Rumusan pasalnya adalah “Jika
perbuatan itu menyebabkan luka berat pada tubuh, maka orang yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Memori
van Toelichting menyebutkan, direncanakan itu
disyaratkan adanya suatu jangka waktu tertentu untuk merencanakan secara tenang
dan untuk mempertimbangkannya kembali dengan tenang. Direncanakan tersebut
bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa (R. Wirjono
Prodjodikoro, 1986: 69). Unsur “direncanakan lebih dulu” merupakan bagian inti
tindak pidana yang merupakan keadaan yang memberatkan pidana (Andi Hamzah,
2010: 76).
Pasal 355 ayat (1) KUHP merupakan mengatur
tentang tindak pidana penganiayaan yang memiliki kualifikasi “penganiayaan
berat dengan direncanakan lebih dulu”. Rumusan pasalnya adalah “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan
direncanakan lebih dulu dipidana dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
P.A.F. Lamintang (1986: 146) menyebut, Pasal 355 KUHP itu merupakan suatu
penganiayaan berat dengan pemberatan.
Kesengajaan menyebabkan atau mendatangkan
luka berat pada tubuh orang lain dikualifikasikan sebagai penganiayaan berat (P.A.F.
Lamintang, 1986: 133). Putusan Hoge Raad
tanggal 8 Januari 1917 dan 22 Oktober 1923 menyebutkan, yang dimaksud luka
berat pada tubuh ialah suatu luka yang sifatnya demikian rupa hingga ia
meninggalkan suatu akibat yang merugikan dan sifatnya tetap ataupun yang
menyebabkan suatu kerugian pada tubuh yang sifatnya penting.(*)
-
MOCH. CHOIRUL RIZAL adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah IAIN Kediri. Sebagai salah satu bentuk pengabdiannya kepada masyarakat, ia menjadi Direktur Eksekutif sekaligus Peneliti pada Lembaga Studi Hukum Pidana.
0 Komentar