Menurut KUHAP, bentuk upaya paksa hanya meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Kini, penyadapan dilakukan untuk mengungkap tindak pidana khusus, misalnya tindak pidana korupsi.
Perkembangan zaman yang semakin pesat menuntut pembaruan pada segala bidang, termasuk hukum. Perkembangan ini didukung pula dengan pesatnya kemajuan teknologi. Seiring dengannya, kejahatan juga banyak dilakukan melalui teknologi. Berkenaan dengan itu, penyadapan, salah satunya, digunakan sebagai sarana untuk dapat mengungkap kejahatan yang dilakukan melalui teknologi. Meskipun penyadapan adalah suatu hal yang dilarang dilakukan menurut undang-undang, namun dikecualikan apabila penyadapan dilakukan untuk menegakkan hukum dan atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang kewenangannya ditetapkan undang-undang.
Penyadapan merupakan sarana teknologi yang efektif untuk mengungkapan kejahatan yang sistematik, seperti korupsi, narkotika, ataupun kejahatan antarnegara lainnya. Dalam hal ini, penyadapan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “bugging”, yang artinya bentuk pengawasan elektronik berupa pembicaraan atau kemungkinan menangkap secara elektronik, mendengar, maupun merekam lazimnya mendengar secara diam-diam melalui perangkat elektronik (Rachmad 2016:239–340).
Di sisi yang lain, penyadapan merupakan tindakan pelanggaran pada privasi dari seorang individu yang kategorinya masuk dalam hak asasi yang tidak semua orang dapat melihatnya (Fitria 2017:161). Maksudnya, penyadapan dapat dilakukan dengan adanya batasan-batasan hanya untuk mengetahui tindak pidananya saja, bukan pada privasi seseorang tersebut yang disadap. Penyadapan yang melanggar hak asasi manusia yang dimaksud adalah ketika yang melakukan penyadapan tersebut adalah bukan aparat yang berwenang seperti pihak kepolisisan, kejaksaan, maupun institusi penegak hukum lain yang kewenangannya telah ditetapkan menurut undang-undang.
Di Indonesia, aturan mengenai upaya penyadapan ada pada berbagai peraturan perundang-undangan, baik pada tingkat undang-undang hingga peraturan menteri. Bukan hanya pengaturan formalnya saja yang tersebar, melainkan sistemnya juga bermacam-macam. Keberagaman pengaturan hukum mengenai penyadapan ini memiliki pengaruh yang berbahaya, di antaranya adalah sasaran penyadapan tidak dapat mempermasalahkan sah tidaknya mekanisme penyadapan yang dilakukan terhadap sasaran, serta hasil penyadapan yang dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan keberadaannya tidak dapat digugat, karena tidak memiliki mekanisme yang mengaturnya secara jelas dan eksplisit dalam satu pengaturan (Eddyono 2014:23–24). Peraturan yang mengatur tentang penyadapan masih beragam dan belum menjadi satu kesatuan, sehingga untuk membuktikan keabsahan proseduralnya sulit untuk dilakukan, serta untuk menggugat keberdaan penyadapan yang dijadikan bukti tidak dapat dilakukan, karena pengaturannya yang tidak eksplisit.
Otoritas yang berwenang memerintahkan adanya upaya penyadapan di Indonesia masih tergolong banyak. Penyadapan yang dilakukan di Indonesia berbeda-beda tergantung sasarannya. Sementara itu, di negara lain, izin melakukan penyadapan hanya dikuasai oleh satu otoritas saja. Model perizinan penyadapan yang diberikan juga beragam, yaitu ada yang perizinannya diberikan oleh pemerintah (executive authorisatin), ada yang perizinannya diberikan oleh pengadilan (judicial authorisatin), dan perizinan dari hakim komisaris (investigating magistrate). Pelaksanaannya masih sangat beragam serta tanpa ada mekanisme pengawasan yang jelas (Institute for Criminal Justice Reform 2012).
Sementara itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 5/PUU-VIII/2010, tanggal 2 Februari 2011, mempertimbangkan bahwa mahkamah menilai perlu adanya undang-undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata caranya melakukan penyadapan pada untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Undang-undang ini sangat diperlukan karena sampai saat ini belum ada pengaturan yang sesuai mengenai penyadapan, sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional warga negera pada umumnya.
Bentuk-Bentuk Upaya Paksa
Upaya paksa merupakan suatu tindakan yang bersifat memaksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pidana atas kebebasan seseorang atau kebebasan memiliki serta menguasai suatu barang atau kebebasan pribadinya untuk tidak memperoleh gangguan dari siapapun (Utiarahman 2019:24). Tindakan upaya paksa itu berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Apabila langkah tersebut dilakukan tanpa adanya ketentuan dari undang-undang yang mengaturnya, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Di Indonesia, upaya paksa dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (umum disebut “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” atau “KUHAP”). Bentuk-bentuk dari upaya paksa menurut KUHAP adalah penangkapan (yang diatur dalam Pasal 16 KUHAP sampai dengan Pasal 19 KUHAP), penahanan (yang diatur dalam Pasal 20 KUHAP sampai dengan Pasal 31 KUHAP), penggeledahan (yang diatur dalam Pasal 32 KUHAP sampai dengan Pasal 37 KUHAP), penyitaan (yang diatur dalam Pasal 38 KUHAP sampai dengan Pasal 46 KUHAP), serta pemeriksaan surat (yang diatur dalam Pasal 47 KUHAP sampai dengan 49 KUHAP).
Dalam penyidikan tindak pidana khusus, misalnya, tindak pidana korupsi, penyidik saat dalam proses penyidikan dapat meminta bantuan untuk melakukan penyadapan terhadap alat komunikasi seseorang yang dicurigai berkaitan dengan perkara atau pihak lain sebagai bentuk pengembangan kasus. Permintaan penyadapan harus didukung dengan alasan yang jelas (Utiarahman 2019:29). Tindakan demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum pidana dalam sistem peradilan pidana yang pengaturannya berada di luar KUHAP.
Penyadapan sebagai Upaya Paksa
Pada dasarnya, penyadapan adalah suatu bentuk tindakan pengambilan informasi pribadi dari 2 (dua) pihak yang mana pada saat itu sedang melakukan komunikasi tanpa diketahui oleh 2 (dua) pihak tersebut (Christianto 2016:91). Penyadapan adalah salah satu cara terbaik untuk melakukan penyidikan dalam penegakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Yang termasuk dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), di antaranya, kejahatan korupsi (corruption crime), perdagangan orang (human trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan narkotika (illicit drug trafficking), penyelundupan senjata (weapon smuggling), dan lain sebagainya.
Dalam konteks hukum pidana, penyadapan haruslah dilakukan dengan lawful interception (penyedapan informasi secara sah), yaitu penyadapan dan pengawasan atas aktivitas komunikasi secara sah harus dilakukan menurut hukum serta dilakukan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan yang telah ditentukan oleh peraturan tertentu kepada individu maupun kelompok (Salim, Kurnia, and Azhari 2018:90). Kewenangan melakukan penyadapan terbatas pada upaya mencegah dan mendeteksi kejahatan-kejahatan yang sangat berat dengan syarat harus dipergunakan ketika metode investigasi kriminal lainnya telah ditempuh mengalami kegagalan atau tidak ada cara lainnya yang dapat digunakan selain penyadapan guna memperoleh informasi yang diperlukan dan harus ada alasan yang cukup kuat bahwa adanya penyadapan bukti-bukti baru akan didapatkan serta sekaligus digunakan untuk menghukum pelaku tindak pidana (Salim et al. 2018:91).
Penyadapan hanya boleh dilakukan lembaga yang memiliki wewenang saja. Penyadapan dilarang dilakukan oleh warga sipil. Apabila ada yang melakukan penyadapan dengan memasang alat atau perangkat lainnya terhadap alat komunikasi seseorang guna memperoleh informasi dengan cara yang tidak sah, maka hal itu telah melanggar hak privasi seseorang tersebut. Indonesia sangat menjunjung tinggi hak privasi warganya secara konstitusional yang dibuktikan dengan adanya undang-undang yang mengatur pelarangan penyadapan dengan cara yang tidak sah atau dilakukan dengan sengaja serta melawan hukum.
Penyadapan sesungguhnya tidak dicantumkan sebagai salah satu upaya paksa menurut hukum acara pidana dalam KUHAP. Pasalnya, penyadapan merupakan suatu tindakan pelanggaran terhadap hak privasi dari seseorang. Namun, ada beberapa tindak pidana yang perlu dilakukan penyadapan, misalnya, tindak pidana khusus, yang dalam hukum acaranya merupakan bentuk dari upaya paksa untuk memperoleh informasi yang nantinya akan dijadikan bukti dalam proses pemeriksaan di persidangan. Pengaturan tentang tata cara pelaksanaan penyadapan juga masih beragam dan berbeda-beda dalam setiap lembaga-lembaga yang berwenang melakukan penyadapan. Untuk itu, perlu adanya aturan tersendiri mengenai penyadapan ini.
Hasil penyadapan yang dilakukan harus sesuai dengan standart operational procedure (SOP) yang dibuktikan dengan hasil audit Direktorat Jendral Pos dan Komunikasi Kementerian Informasi dan Komunikasi. Apabila tidak sesuai, maka hasil penyadapan itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Sementara itu, apabila dalam proses penyadapan terjadi pelanggaran dalam proseduralnya, maka hasil penyadapan tersebut tidak sah, meskipun hasil penyadapan itu dilakukan oleh lembaga yang berwenang (Hidayat 2019:41). Jadi, hasil dari proses penyadapan yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam proses pemeriksaan di persidangan harus sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Komunikasi Kementerian Informasi dan Komunikasi.
Saat ini, setidaknya ada 20 (dua puluh) peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menyebut dan/atau mengatur mengenai penyadapan. Keberagaman pengaturan hukum acara tentang penyadapan di Indonesia memberikan pengaruh yang cukup serius, yaitu ruang interpretasi di antara para aparat penegak hukum menjadi terbuka. Kepolisian, kejaksaan, dan KPK, misalnya, pada akhirnya menimbulkan ketidakteraturan dalam tatanan pelaksanaannya, sehingga memperlihatkan adanya pelanggaran atas asas kepastian hukum dan persamaan di depan hukum (equality before the law) (Iftitahsari 2020:24).
Putusan MKRI No. 5/PUU-VIII/2010, tanggal 2 Februari 2011, menyebutkan, mekanisme penyadapan yang ada di negara lain dilakukan dengan syarat: (1) adanya otoritas resmi yang ditunjuk oleh undang-undang untuk memberikan izin penyadapan; (2) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan; (3) pembatasan penanganan materi penyadapan; dan (4) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Peraturan perundang-undangan yang kini berlaku dan mengatur tentang penyadapan seharusnya mengatur dengan jelas tentang wewenang untuk melakukan maupun meminta penyadapan, tujuan penyadapan secara spesifik, kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, tata cara penyadapan, pengawasan terhadap penyadapan, dan penggunaan hasil penyadapan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pengaturan hukum tentang upaya paksa penyadapan yang ada di Indonesia tersebar dalam kurang lebih 20 (dua puluh) peraturan perundang-undangan. Otoritas yang memberikan izin untuk melakukan penyadapan pun tidak hanya satu. Ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai upaya paksa penyadapan masih beragam dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan. Pengawasan pelaksanaan penyadapan di Indonesia juga masih belum jelas mekanismenya.
Kemudian, masih menurut pertimbangan hukum dalam Putusan MKRI No. 5/PUU-VIII/2010, tanggal 2 Februari 2011, mahkamah menilai perlu adanya sebuah undang-undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Undang-undang ini amat dibutuhkan, karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan, sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya.
Pertimbangan hukum sebagaimana dalam Putusan MKRI No. 5/PUU-VIII/2010, tanggal 2 Februari 2011, menunjukkan bahwa diperlukan sebuah undang-undang yang khusus yang dapat mengatur mengenai penyadapan. Hal ini mengingat peraturan tentang penyadapan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dibentuknya undang-undang tentang penyadapan dimaksudkan agar tercipta sebuah kepastian dan kejelasan mengenai proses serta pelaksanaan penyadapan yang sesuai dan tidak melanggar hak privasi masing-masing orang yang merupakan salah satu hak asasi manusia.
-
SYIFA FACHRUNISA adalah mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Kediri.
0 Komentar