Pemberi Bantuan Hukum dalam RKUHAP 2025

Bantuan hukum bukan merupakan hak yang diberi. Bantuan hukum merupakan hak yang melekat pada diri manusia, karena esensi kemanusiaannya sebagai ciptaan Tuhan.

oleh MOCH. CHOIRUL RIZAL

Peter Mahmud Marzuki (2020: 47-62) menyebutkan, ada empat asas hukum yang bersifat fundamental. Pertama, asas persamaan di hadapan hukum. Kedua, asas praduga tak bersalah. Ketiga, asas legalitas. Keempat, asas peradilan yang fair dan sah.

Keempat asas tersebut berpangkal dari penghargaan terhadap martabat kemanusiaan yang melekat karena pemberian Tuhan. Keempatnya tidak dapat dikesampingkan, misalnya, dalam praktik peradilan pidana. Konkritisasi keempatnya: perlu ada jaminan penghargaan, pelindungan, dan pemenuhan mengenai hak atas bantuan hukum.

Oleh karena itu pula, bantuan hukum bukan merupakan hak yang diberi. Bantuan hukum merupakan hak yang melekat pada diri manusia, karena esensi kemanusiaannya sebagai ciptaan Tuhan. Terlebih, dalam sistem peradilan pidana, pembatasan hak asasi manusia (HAM) adalah suatu keniscayaan. Di sisi yang lain, kewenangan penegak hukum perlu diatur secara jelas.

Pemberi Bantuan Hukum dalam RKUHAP 2025

Dalam Pasal 1 angka 21 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana versi Maret 2025 (RKUHAP 2025) merumuskan, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara cuma-cuma oleh advokat kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu. Lalu, selain advokat sebagaimana menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Pasal 1 angka 19 RKUHAP 2025 menyebutkan adanya “orang” yang dapat memberikan jasa hukum sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Sayangnya, RKUHAP 2025 tidak memberikan penjelasan mengenai standar yang dimaksud sebagai “orang” tersebut. Bab VII RKUHAP 2025, baik pada bagian kesatu maupun bagian kedua, juga tidak memberikan rancangan rumusan pengaturan hukum lebih lanjut. Artinya, syarat, kedudukan, hak dan kewajiban, serta pelindungan hukum terkait pemberi bantuan hukum dalam RKUHAP 2025 masih perlu didiskusikan.

Advokat, misalnya, harus lulus sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Lalu, harus lulus dalam pendidikan khusus profesi advokat dan ujian profesi advokat. Diharuskan pula magang dua tahun berturut-turut. Baru kemudian dapat mengikrarkan sumpah profesi sebagai penegak hukum di hadapan hakim pada pengadilan tinggi. Di samping itu, kerja-kerja advokat diawasi oleh organisasi advokat melalui dewan kehormatan atau komisi pengawas. Artinya, ada standar yang cukup jelas, kedudukan, berikut juga soal hak dan kewajiban serta pelindungan hukumnya (hak imunitas) yang diatur dalam undang-undang.

Tim penyusun daftar inventarisasi masalah RKUHAP 2025 pada Pusat Riset Peradilan Pidana Universitas Brawijaya dalam acara “Critical Review atas RKUHAP 2025”, 16 Mei 2025, menuturkan, “orang” yang dimaksud harus berpendidikan “Sarjana Hukum”. Selain itu, pengaturan hukumnya lebih lanjut dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 150/PUU-XXII/2024, tanggal 3 Januari 2025, memutuskan, dosen pegawai negeri sipil (PNS) dapat memberikan bantuan secara cuma-cuma. Putusan tersebut koheren dengan Pasal 60 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan, tugas wajib dosen adalah pengabdian kepada masyarakat, selain pelaksanaan pendidikan dan penelitian.

Dalam putusan tersebut memberikan syarat, salah satunya, dosen pemberi bantuan hukum harus tergabung ke dalam organisasi bantuan hukum (OBH) pada perguruan tinggi. OBH yang dimaksud harus telah terakreditasi oleh kementerian yang berwenang. Masalahnya, jumlah dan sebaran OBH (khususnya yang berbasis pada perguruan tinggi) yang terakreditasi di Indonesia belum merata.

Selain itu, pengaturan hukum mengenai pengawasan terhadap kerja-kerja pemberian bantuan hukum oleh dosen PNS juga perlu diperjelas. Hal ini menyangkut, misalnya, kualitas layanan bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu. Di samping itu, jaminan pelindungan hukum (hak imunitas) baginya perlu dirumuskan secara seksama.

Persoalan mengenai standar, kedudukan, hak dan kewajiban, serta pelindungan hukum bagi pemberi bantuan hukum memang harus dirumuskan secara jelas. Pasalnya, hal tersebut akan berhadapan langsung dengan hak atas bantuan hukum yang melekat pada esensi kemanusiaan terlapor, tersangka, terdakwa, maupun terpidana kelak ketika RKUHAP 2025 diundangkan.

Menunda Pengundangan

Seyogianya, RKUHAP 2025 tidak dapat diundangkan secara terburu-buru. Bahkan, jika alasan segera diundangkannya adalah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023) pada 2 Januari 2026, maka menurut Fachrizal Afandi (2025), justru bertentangan dengan Pasal 52 KUHP 2023, yaitu “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia”. Artinya, ada nilai yang tidak selaras antara KUHP 2023 dengan RKUHAP 2025.

Secara a contario, jika RKUHAP 2025 yang mengusung “nilainya sendiri” saat ini diundangkan, maka proses peradilan pidana nantinya justru akan merendahkan martabat manusia. Dalam konteks tulisan ini, “merendahkan martabat manusia” dapat dilihat pada aspek ketidakjelasan rumusan pengaturan hukum mengenai pemberi bantuan yang akan bertautan langsung dengan penerima bantuan hukum, yaitu masyarakat yang tidak mampu.

Luhut MP Pangaribuan (2025), misalnya, menegaskan, agar RKUHAP 2025 tidak menjadikan barang lebih berharga daripada manusia. Mengingat opini itu, rumusan pengaturan hukum apapun dalam RKUHAP 2025 yang menyangkut HAM perlu dibahas secara mendalam, tuntas, serta melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna.

Sesuai Putusan MK Nomor: 91/PUU-XVIII/2020, tanggal 25 November 2021, masyarakat mempunyai hak untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan diberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang disampaikan. Jangan sampai partisipasi yang bermakna yang mengandung tiga hak asasi itu hanya berakhir menjadi slogan semata.

Tegasnya, ketidakjelasan rumusan pengaturan hukum mengenai pemberi bantuan hukum dalam RKUHAP 2025 berpotensi selaras dengan ketidakterpenuhan serta ketidakterlindungan hukum bagi penerima bantuan hukum. Akibatnya, empat asas hukum yang fundamental yang berpangkal dari penghargaan terhadap martabat kemanusiaan yang melekat karena pemberian Tuhan akan dikesampingkan.

-

MOCH. CHOIRUL RIZAL adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah UIN Syekh Wasil Kediri serta Direktur Eksekutif dan Peneliti pada Lembaga Studi Hukum Pidana.

Posting Komentar

0 Komentar